Sejarah dan filosofi bencana di Museum Tsunami
Sejarah dan filosofi bencana di Museum Tsunami
Akhir Maret lalu saya berkesempatan
mengunjungi Aceh untuk pertama kalinya. Selain untuk berlibur, kunjungan
perdana ini saya manfaatkan untuk melihat jejak-jejak tsunami yang
tersisa di provinsi terbarat Indonesia ini. Salah satu kota yang saya
sambangi ialah Banda Aceh. Di sinilah Museum Tsunami berlokasi, tempat
yang tepat bagi mereka yang ingin membaca jejak tsunami yang terangkum
dalam bentuk arsip dokumentasi berita, foto, video, miniatur, hingga
filosofi bentuk bangunan.
Museum Tsunami terletak di Jalan Sultan
Iskandar Muda, Banda Aceh. Museum ini tidak memungut bea masuk, sehingga
pengunjung bisa masuk dengan gratis. Hanya saja, pengunjung yang datang
diwajibkan untuk mengenakan pakaian sopan, yakni baju lengan panjang
dan celana/rok panjang. Sementara pengunjung wanita yang beragama Islam
dianjurkan untuk memakai kerudung.
Museum Tsunami diresmikan pada tahun
2008, dua tahun setelah tsunami meluluhlantakkan Banda Aceh dan kawasan
sekitarnya. Museum ini dibangun setinggi empat lantai. Di lantai dasar
terdapat “Jembatan Perdamaian” yang merentang sepanjang 15 meter di atas
kolam ikan. Di sekeliling kolam terdapat 52 buah tempat duduk yang
terbuat dari batu sebagai lambang jumlah negara yang memberi bantuan
pada Indonesia untuk rekonstruksi pasca tsunami di Aceh.
Saat melintasi jembatan, perhatian saya
terbagi dua, menengok ikan-ikan yang berenang dan mendongak melihat
bendera dari berbagai negara yang menggantung. Karena penasaran, saya
melangkahkan kaki ke bagian tengah jembatan dan mencoba membaca satu
persatu kata yang tertulis di bendera tersebut. Rupanya bendera-bendera
tersebut bertuliskan kata “damai” dalam berbagai bahasa.
Saya lalu melanjutkan perjalanan ke
lorong gelap yang kedua sisi dindingnya dikucuri air. Saat melewati
lorong ini, kita seolah diajak merasakan situasi korban saat tergulung
gelombang tsunami. Sempit, gelap, dan terdengar suara air. Dinding
setinggi 20 meter melambangkan ketinggian air sewaktu tsunami
terjadi. Saya bergidik membayangkan penderitaan korban kala itu.
Terombang-ambing dalam air dari laut yang tak lagi berwarna biru jernih,
melainkan pekat karena turut membawa lumpur dan segala benda yang ikut
terbawa saat air menyapu kota.
Lorong ini bermuara ke sebuah ruangan yang sekilas tampak seperti memorial hall. Monitor-monitor
tersebar di penjuru ruang, menampilkan foto-foto saat bencana melanda
setiap beberapa detik. Suasana ruangan juga gelap, dengan cermin yang
membentang di masing-masing sisi ruangan dengan sedikit cahaya yang
tembus dari beberapa kaca di langit-langit. Rupanya ruangan ini berada
tepat di bawah kolam ikan. Ruangan ini juga penuh filosofi. Cermin yang
membentang melambangkan luasnya jangkauan air saat tsunami, sementara
cahaya yang masuk dari celah kaca, memperlihatkan minimnya cahaya yang
bisa tembus ke dalam air. Ruangan ini mengajak kita seolah-olah berada
di dalam air.
Tak
jauh dari sana terletak “sumur doa”, yakni sebuah ruangan yang
menampilkan nama-nama korban di dinding dengan atap berbentuk corong. Di
puncaknya terdapat tulisan “Allah” dalam bahasa Arab. Entah kenapa di
ruangan ini lantunan ayat suci terdengar menyayat hati sehingga saya
bergidik untuk yang kedua kalinya.
Di lantai dua terdapat ruang replika dan
ruang audiovisual. Berbagai miniatur dan replika barang saat kejadian
tsunami terdapat di ruang ini, seperti jam mati yang menunjukkan pukul
08.17 ketika gempa terjadi, miniatur orang-orang yang sedang menangkap
ikan di laut kemudian berlarian menyelamatkan diri dari terjangan
gelombang setinggi pohon kelapa, dan masih banyak lagi.
Sementara di ruang audiovisual kita bisa
menonton dokumenter saat gempa dan tsunami yang terjadi pada 24
Desember 2004. Film berdurasi 15 menit ini ditayangkan beberap kali
dalam satu hari. Namun sayang, kuota pengunjung pada jam penayangan saat
itu sudah penuh sehingga saya tidak jadi menonton.
Lanjut ke lantai tiga ada ruang khusus
IPTEK. Di sini lah berbagai macam benda alat peraga yang menjelaskan
tentang gempa dan tsunami, mulai dari foto, miniatur, hingga simulator
disimpan. Kita bisa mencoba alat peraga yang ada. Sayang banyak alat
peraga yang sudah rusak dan tidak tampak tanda-tanda akan diperbaiki
segera.
Salah satu alat peraga yang masih
berfungsi dengan baik ialah alat pengukur besar gempa. Saya mencoba
menghentakkan kaki di atas alat tersebut, dan secara otomatis muncul
angka 4 SR di monitor.
Bagi yang tak punya waktu untuk membeli
oleh-oleh, jangan khawatir. Sebab museum ini juga menyediakan suvenir
khas Aceh yang dijual di lantai empat. Dendeng sapi dan rusa yang laris
sebagai oleh-oleh juga tersedia di sini. Ada pula aksesori seperti bros
berbentuk pintu rumah adat Aceh, sarung, dan rencong.
Perasaan saya campur aduk usai
mengunjungi museum ini. Ada perasaan ngeri, sedih, hingga haru. Beberapa
bagian di museum ini memang dirancang untuk seolah mengajak pengunjung
ikut merasakan suasana saat terjadi tsunami. Namun saya sadar, betapapun
bergidiknya saya saat mengunjungi Museum Tsunami, tentu tidak ada
apa-apanya dibandingkan penderitaan korban kala bencana melanda.
0 komentar:
Posting Komentar