Olahraga Zaman Dahulu dan Pentingnya Kemenangan
Olahraga Zaman Dahulu dan Pentingnya Kemenangan
Pertandingan yang dimaksud rasul
Paulus adalah bagian yang tak terpisahkan dari peradaban Yunani zaman
dahulu. Apa yang kita pelajari dari sejarah tentang pertandingan seperti
itu dan suasana di dalamnya?
Baru-baru ini, sebuah pameran tentang pesta olahraga Yunani, Nike—Il gioco e la vittoria (”Nike—Pesta Olahraga dan Kemenangan”), diadakan di Colosseum Roma.
Benda-benda yang dipamerkan sedikit banyak menjawab pertanyaan itu dan
memberi kita bahan renungan mengenai pandangan orang Kristen terhadap
olahraga.
Sebuah Praktek Kuno
Yunani bukanlah peradaban pertama yang menggandrungi olahraga. Meskipun begitu, barangkali pada abad kedelapan SM,
pujangga Yunani bernama Homer menggambarkan suatu masyarakat yang
disemangati oleh idealisme kepahlawanan dan semangat persaingan yang di
dalamnya keperkasaan militer dan prestasi olahraga sangat dijunjung.
Festival-festival Yunani yang pertama, menurut pameran itu, pada awalnya
adalah peristiwa keagamaan untuk menghormati dewa-dewi pada pemakaman
tokoh-tokoh pahlawan. Misalnya, Iliad karya Homer, karya
kesusasteraan Yunani tertua yang masih ada, menggambarkan bagaimana para
pejuang yang dihormati, rekan-rekan Akhiles, meletakkan senjata mereka
pada upacara pemakaman Patroklus dan berlomba untuk membuktikan
kegagahan mereka dalam tinju, gulat, lempar cakram dan lembing, serta
balap kereta.
Beberapa festival yang serupa
akhirnya dirayakan di seluruh Yunani. Buku pedoman pameran itu berkata,
”Festival-festival itu pada dasarnya memberikan kesempatan bagi
orang-orang Yunani untuk, karena merespek dewa-dewi mereka,
mengesampingkan pertikaian mereka yang tiada akhirnya dan sering kali
penuh kekerasan, dan berhasil mengalihkan semangat persaingan mereka
yang khas menjadi prestasi yang penuh damai sekaligus tulus: yaitu
pertandingan olahraga.”
Kelompok-kelompok negara-kota
memberlakukan praktek untuk secara rutin berkumpul di pusat-pusat ibadat
yang umum untuk memberikan penghormatan kepada dewa-dewi mereka melalui
pertandingan olahraga. Belakangan, empat festival semacam itu—Olimpiade
dan Nemea, kedua-duanya dibaktikan kepada Zeus, sedangkan Pitia dan
Tanah Genting Korintus, masing-masing dibaktikan kepada Apolo dan
Poseidon—menjadi semakin penting sampai mereka mencapai status festival
Panhelenik, yakni festival-festival yang terbuka bagi para peserta dari
seluruh penjuru wilayah kekuasaan Yunani. Selain menonjolkan korban dan
doa, festival-festival itu juga menghormati dewa-dewi melalui
pertandingan olahraga atau artistik yang terunggul.
Festival yang paling tua dan
paling bergengsi, konon berasal dari tahun 776 SM, diadakan setiap tahun
keempat untuk menghormati Zeus di Olympia. Festival terpenting
berikutnya adalah festival Pitia. Dalam festival yang diadakan di dekat
kuil peramal yang paling terhormat di dunia zaman dahulu, di Delphi,
tercakup juga pertandingan olahraga. Namun, untuk menghormati dewa
pelindung puisi dan musik, Apolo, penekanan diberikan pada nyanyian dan
tarian.
Jenis Perlombaannya
Dibandingkan dengan olahraga
modern, jumlah perlombaannya agak terbatas, dan hanya pria-pria yang
ambil bagian. Program Olimpiade zaman dahulu ini tidak pernah
menampilkan lebih dari sepuluh perlombaan. Patung, relief, mosaik, dan
lukisan pada vas-vas terakota yang dipamerkan di Colosseum menyajikan
sekilas perlombaan itu.
Ada lomba lari yang menempuh tiga jarak—nomor lari setadi, sekitar 200 meter, double course,
yang sama dengan lomba 400 meter pada zaman sekarang; dan lomba jarak
jauh, sekitar 4.500 meter. Para atlet berlari dan berlatih dalam keadaan
telanjang bulat. Para peserta pentatlon bertanding dalam lima nomor:
lari, lompat jauh, lempar cakram, lempar lembing, dan gulat. Beberapa
pertandingan lain mencakup tinju dan pancratium, digambarkan
sebagai ”olahraga brutal yang menggabungkan tinju tangan kosong dengan
gulat”. Kemudian, ada lomba kereta berjarak delapan setadi, dengan
gerobak terbuka yang diletakkan di atas roda-roda kecil dan ditarik oleh
dua atau empat keledai muda atau kuda dewasa.
Pertandingan tinju sangat
beringas dan sering kali mematikan. Di sekeliling kepalan tangan mereka,
para peserta mengenakan potongan-potongan kulit keras yang disisipi
biji-biji logam. Saudara dapat membayangkan mengapa seorang peserta
bernama Stratofonte tidak dapat mengenali dirinya sendiri di sebuah
cermin setelah empat jam bertinju. Patung dan mosaik zaman dahulu
memberikan kesaksian bahwa para petinju mengalami kerusakan wajah yang
sangat mengerikan.
Dalam gulat, yang diperbolehkan
hanyalah memegang tubuh bagian atas, dan pemenangnya adalah orang yang
terlebih dahulu menjatuhkan lawannya sebanyak tiga kali. Sebagai
kontras, dalam pancratium tidak ada larangan apa pun. Para
peserta boleh menendang, meninju, dan memelintir sendi-sendi.
Satu-satunya larangan adalah mencungkil mata, mencakar, dan menggigit.
Tujuannya adalah untuk melumpuhkan lawan ke tanah dan memaksanya
menyerah. Beberapa orang menganggapnya sebagai ”tontonan terbaik di
seluruh Olimpia”.
Pertarungan pancratium
yang paling terkenal pada zaman dahulu konon terjadi pada pertandingan
final Olimpiade pada tahun 564 SM. Arrhachion, yang sedang dicekik,
masih cukup sigap untuk membuat jempol lawannya terpelecok. Lawannya,
yang sangat kesakitan, menyerah tepat sebelum Arrhachion tewas. Juri
menyatakan Arrhachion yang sudah menjadi mayat sebagai pemenangnya!
Balap kereta adalah nomor yang
paling bergengsi dan juga yang paling populer di kalangan bangsawan,
karena yang menang bukanlah sang pengemudi melainkan pemilik kereta dan
kuda-kudanya. Saat-saat kritis dalam balapan adalah pada permulaan
perlombaan, sewaktu para pengendara kereta harus tetap berada di jalur,
dan yang terutama pada setiap belokan memutari tiang-tiang pada kedua
ujung lintasan. Kesalahan atau kecurangan dapat menyebabkan kecelakaan
yang membuat peristiwa populer ini menjadi lebih spektakuler.
Hadiahnya
”Dalam perlombaan, semua pelari berlari,” kata rasul Paulus, ”tetapi hanya satu yang menerima hadiah.”
Yang terpenting di atas segala-galanya adalah menang. Tidak ada medali
perak atau perunggu, tidak ada tempat kedua atau ketiga. ”Kemenangan,
’Nike’, adalah tujuan utama sang atlet,” jelas pameran itu. ”Kepuasan
diperoleh hanya kalau menang karena hanya hal ini yang benar-benar
mencerminkan karakter pribadinya, baik secara fisik maupun moral, dan
membanggakan bagi kampung halamannya.” Sikap ini diringkaskan ke dalam
satu kalimat dari Homer, ”Aku telah belajar untuk selalu menjadi nomor
satu.”
Hadiah yang diberikan kepada
seorang pemenang dalam Pesta Olahraga Panhelenik semata-mata bersifat
simbolis—sebuah mahkota dari dedaunan. Paulus menyebutnya ”mahkota yang
fana”.Namun, hadiah itu mengandung makna yang dalam. Itu menggambarkan
kekuatan alam yang menganugerahkan kuasanya kepada si pemenang.
Kemenangan, yang dikejar dengan tekad yang terfokus, diperoleh karena
perkenan dewa-dewi. Benda-benda yang dipamerkan memperlihatkan bagaimana
para pemahat dan pelukis zaman dahulu membayangkan Nike, dewi
kemenangan Yunani yang bersayap, memahkotai si pemenang. Kemenangan di
Olimpia merupakan puncak karier setiap atlet.
Mahkota Olimpiade terbuat dari
daun zaitun liar—mahkota Tanah Genting Korintus dari daun cemara,
mahkota Pitia dari daun salam, mahkota Nemea dari seledri liar [Apium graveolens]. Para penyelenggara pertandingan di tempat-tempat lain menawarkan hadiah uang atau hal-hal lain untuk menarik minat
peserta berkaliber tertinggi. Beberapa vas yang dipajang dalam pameran
itu pernah menjadi hadiah pada Pesta Olahraga Panatena, yang diadakan di
Athena sebagai penghormatan bagi dewi Athena. Tempayan ini pada mulanya
berisi minyak yang berharga dari Atika. Dekorasi pada sebuah sisi dari
salah satu vas itu menggambarkan dewi-dewi dan memiliki frasa ”hadiah
untuk pertandingan di Athena”. Sisi lainnya melukiskan nomor lomba
tertentu, kemungkinan nomor yang dimenangkan si atlet.
Pamor kota-kota di Yunani ikut
naik seiring dengan ketenaran atlet mereka, yang kemenangannya mengubah
mereka menjadi pahlawan di komunitas asal mereka. Kepulangan para
pemenang dirayakan dengan pawai kemenangan. Patung-patung bagi mereka
didirikan sebagai persembahan syukur kepada dewa-dewi—suatu kehormatan
yang umumnya tidak diberikan kepada manusia—dan para pujangga menggubah
nyanyian untuk kegagahan mereka. Setelah itu, para pemenang diberi
tempat pertama dalam upacara-upacara publik dan menerima pensiun yang
dibiayai publik.
Gimnasium dan Atletnya
Pertandingan olahraga dianggap
sebagai elemen yang sangat penting dalam pengembangan rakyat-prajurit.
Semua kota di Yunani memiliki gimnasiumnya sendiri, tempat pelatihan
fisik bagi para pemuda yang digabungkan dengan pelajaran bidang
intelektual dan spiritual. Bangunan-bangunan gimnasium diatur di
sekeliling tempat-tempat terbuka yang besar untuk berlatih, yang
dikelilingi oleh serambi dan ruangan-ruangan tertutup yang digunakan
sebagai perpustakaan dan ruang kelas. Tempat-tempat seperti ini sering
dikunjungi terutama oleh para pemuda dari keluarga-keluarga kaya yang
dapat mengabdikan waktu kepada pendidikan ketimbang kepada pekerjaan. Di
sini, para atlet mengikuti persiapan yang panjang dan intensif untuk
pertandingan dengan bantuan pelatih, yang juga menetapkan pola makan dan
memastikan bahwa mereka berpantang seks.
Pameran Colosseum menyediakan
kesempatan bagi para pengunjung untuk mengagumi gambar yang sangat bagus
dari atlet-atlet zaman dahulu, sebagian besar berupa tiruan dari
patung-patung asli Yunani yang dibuat pada zaman Imperium Romawi. Karena
dalam ideologi klasik kesempurnaan fisik sama dengan kesempurnaan moral
dan hanya dimiliki para bangsawan, bentuk tubuh yang ideal dari para
atlet yang menang menggambarkan suatu idealisme filosofis. Orang Romawi
menghargai patung-patung itu sebagai karya seni, dan kebanyakan
menghiasi stadion, permandian, vila, dan istana.
Di kalangan orang Romawi,
tontonan yang penuh kekerasan selalu populer, jadi di antara semua
perlombaan Yunani yang ditampilkan di Roma, yang paling disukai adalah
tinju, gulat, dan pancratium. Orang Romawi memandang olahraga
seperti itu, bukan sebagai persaingan antara orang-orang yang sederajat
untuk menentukan kegagahan masing-masing, melainkan semata-mata sebagai
hiburan. Konsep semula bahwa olahraga adalah partisipasi kolektif para
pejuang-atlet yang elite sebagai bagian dari pendidikan mereka telah
ditinggalkan. Sebaliknya, orang Romawi menurunkan martabat pertandingan
Yunani menjadi sekadar olahraga yang sehat sebelum mandi atau olahraga
tontonan yang dipraktekkan oleh profesional kelas rendah, sangat mirip
dengan pertandingan gladiator.
0 komentar:
Posting Komentar